Jumat, 26 Desember 2014

Urak Wadalan, Tradisi Berbagi Warga Desa Berugenjang

Gembira dengan datangnya bulan puasa adalah perasaan yang mungkin dirasakan oleh sebagian besar muslim di Indonesia, tak terkecuali di Kudus. Berbagai acara digelar untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini, dari menggelar tradisi dandangan yang digelar beberapa minggu sebelum bulan puasa tiba, hingga menggelar kirab budaya yang menggambarkan tokoh-tokoh para wali penyebar agama Islam di Kudus.

Tentu hal ini tidak saja menggambarkan sebuah ritus masyarakat di Kudus yang setiap tahun digelar untuk menyambut bulan puasa saja, namun juga sebagai ungkapan kegembiraan dan kebersamaan.

Namun, ada satu tradisi di salah satu daerah di Kudus yang sangat unik dan mungkin tak banyak masyarakat yang tahu, tradisi tersebut adalah Urak Wadalan. Daerah tersebut terletak di kecamatan Undaan, tepatnya di desa Berugenjang. Desa yang berada di tengah-tengah hamparan berpuluh hektare sawah ini menjalankan tradisi tersebut setiap bulan puasa secara turun temurun.

Urak Wadalan adalah tradisi memberikan jajan pasar kepada jemaah sholat tarawih di masjid dan mushola. Tradisi yang dilakukan dengan sukarela oleh masyarakat ini dilaksanakan dengan memberikan sepotong kayu yang bertulis "Urak Wadalan-Sak Kuasane " (Urak Wadalan - seikhlasnya) sebagai sebuah tanda yang diberikan kerumah-rumah warga secara bergiliran.

Mekanismenya, jika hari ini sebuah rumah warga mendapatkan kayu tersebut maka besok malamnya pemilik rumah warga itu mendapatkan giliran untuk memberikan jajan pasar ke masjid atau mushola. Keesokan harinya kayu tersebut harus diberikan kepada tetangga rumah di sebelahnya, yang berarti pemilik rumah tersebut mendapatkan giliran untuk malam selanjutnya. Dan begitu seterusnya hingga malam takbiran tiba.

Tradisi Urak Wadalan ini diurus oleh pengurus takmir masjid. Pengurus takmir masjid membagi desa kedalam kering atau wilayah-wilayah, dimana ada warga yang harus memberikan jajan pasar ke masjid, ada yang harus memberikan jajan pasar ke mushola sesuai dengan letak rumah warga di wilayah lingkungan mana warga itu tinggal, di dekat masjid atau di dekat mushola.

Jajan pasar yang diberikan tidak ditentukan secara spesifik, baik jenis maupun jumlahnya. Umumnya warga memberikan jajanan berupa kerupuk, bakwan, tahu isi, roti, apem dan sejenisnya. Jajanan tersebut dibagikan kepada jamaah seusai sholat tarawih, tanpa terkecuali seluruh jamaah mendapatkan bagian. Tak jarang suasana masjid atau mushola menjadi gaduh saat jajanan dibagikan, karena banyak anak-anak kecil yang berebut memintanya. Dan hal inilah yang menjadikan suasana tak terlupakan bagi anak-anak kecil tersebut, termasuk saya.

Tradisi Berbagi dalam Kebersamaan


Urak Wadalan yang berarti kayu sedekah memberikan warna tersendiri bagi masyarakat Berugenjang. Tradisi yang dilaksanakan sejak dahulu ini menyebabkan masyarakat larut dalam kebersamaan, baik dalam suasana saat dibagikannya jajanan pasar tersebut maupun saat penyiapannya.

Jajan pasar dibagikan saat sholat tarawih selesai dilaksanakan oleh jamaah, ada jamaah yang membawanya pulang, ada juga jamaah yang memakannya di tempat sembari ngobrol di serambi masjid atau mushola. Tanpa memandang status sosial, seluruh jamaah membaur dalam suasana kekeluargaan.

Dalam menyiapkan jajanan pasar yang akan diberikan kepada jamaah taraweh ini sebagian besar warga membuatnya sendiri di rumah, dan umumnya tetangga-tetangga rumah datang untuk membantunya, ada juga tetangga yang datang dengan membawa bahan baku untuk membuat jajanan tersebut. Meskipun ada pula warga yang membeli jajanan tersebut dari pasar, akan tetapi hal tersebut tak mengurangi suasana kebersamaan yang akan muncul dalam peristiwa tahunan ini.

Meskipun tradisi berbagi di saat bulan puasa banyak dilakukan oleh kebanyakan warga muslim di Kudus, akan tetapi ada hal yang sangat khas dari tradisi Urak Wadalan yang tidak ditemui di daerah manapun di Kudus; yakni dilakukannya sebuah tradisi oleh masyarakat Berugenjang dengan sebuah mekanisme yang unik, menggunakan piranti berupa kayu sebagai simbolnya, dan tradisi yang unik ini membawa sebuah berkah kebersamaan bagi sesama.

Meskipun jajanan yang diberikan sangatlah sederhana, namun hal tersebut tidak mengurangi suasana kebersamaan. Suasana kebersamaan ini tentu akan memberi makna tersendiri bagi masyarakat Berugenjang yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani.

Bulan puasa yang melipat gandakan pahala, banyak dimanfaatkan muslim untuk berbagi kepada sesamanya, namun tentu niat dan tendensi masing-masing orang tidaklah sama. Ada yang melakukannya dengan ikhlas untuk berbagi, ada pula yang sengaja mengambil momentum bulan puasa untuk tebar pesona di tengah-tengah masyarakat.

Semoga banyaknya tradisi berbagi di bulan penuh berkah ini tidak sekedar menjadi ritual tahunan yang tanpa makna, namun lebih dari itu tradisi berbagi seperti Urak Wadalan bisa menjadi titik tolak dan inspirasi untuk pelaksanaan kegiatan kemasyarakatan yang lain di luar bulan puasa.(Mase Adi Wibowo)

Sumber: Seputarkudus.com
Baca selengkapnya

Warga Desa Berugenjang Selalu Membuat Keciput Saat Lebaran

KUDUS - Menyiapkan makanan kecil menjelang Lebaran menjadi aktivitas tak terlewatkan bagi sebagian masyarakat di Indonesia, termasuk di Kudus. Sekitar sepekan menjelang Lebaran, sebagian masyarakat di Kudus sibuk menyiapkan camilan khas Lebaran, yakni keciput.

Makan ini terbuat dari tepung ketan dicampur dengan telur ayam dan sedikut gula, lengkap dengan wijen sebagai pelengkapnya. Bentuk makanan kecil ini umumnya bulat. Namun tak jarang ditemukan keciput dengan bentuk lonjong. Keciput dimasak dengan cara digoreng di atas minyak goreng panas.
Aktivitas membuat makanan keciput, umumnya dibuat bersama anggota keluarga. 

Hal ini sebagaimana terlihat, sebagian besar masyatakat di Kudus. Selain bisa menyiapkan camilan untuk disajikan pada tamu saat Lebaran, aktivitas tersebut memberi keakraban di antara anggota keluarga.

”Kami tidak pernah melewatkan untuk membuat keciput menjelang Lebaran. Sajian ini tidak boleh ditinggal, karena sudah menjadi budaya,” ujar Suyati, warga Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, saat membuat makanan ini, dia melibatkan seluruh anggota keluarga. Biasanya, keluarganya membuat keciput setelah pulang dari salat tarawih di masjid. Setelah matang, keciput disimpan dalam plastik agar terjaga kerenyahannya. 

”Keciput bisa ditemukan hampir di setiap meja masyarakat Kudus saat Lebaran. Meski saat ini banyak tersedia camilan dengan rasa dan kemasan yang menarik, namun bagi kami keciput adalah camilan utama saat Lebaran,” tuturnya. 

Bagi masyarakat di luar daerah, bisa menikmati keciput saat berkunjung ke sanak famili, atau kerabat saat berlebaran di Kudus. Jika ingin membawa makanan khas ini untuk oleh-oleh, di sejumlah toko makanan kecil di Kudus, menyediakan makanan ini. 

Beberapa toko makanan kecil di Kudus yang bisa ditemukan makanan keciput, di antaranya di Jalan Johar, Jalan Sunan Kudus, dan Jalan Sunan Muria. Umumnya, keciput dijual per kilogram dengan harga bervariasi. Namun, bagi yang ingin membeli keciput dengan kemasan cantik, bisa membelinya di sejumlah toko yang ada di sejumlah kawasan di Kudus. 

Meski keciput merupakan makanan khas saat Lebaran, bagi masyarakat dari luar daerah yang ingin membeli oleh-oleh ini, bisa mendapatkannya di sejumlah toko, meski tidak dalam momen lebaran.
Selain jenang, madu mongso, dan sejumlah camilan khas lain, keciput juga bisa dijadikan oleh-oleh alternatif khas Kudus. Selain rasa original, saat ini juga tersedia berbagai macam rasa yang bisa dijumpai di sejumlah toko. Ada rasa pedas, rasa manis, dan lain sebagainya. (Suwoko)

Sumber: Murianews.com
Baca selengkapnya

Desa Berugenjang Siapkan Website untuk Komunikasikan Program

KUDUS – Pemerintah Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan, saat ini tengah menyiapkan website resmi. Web tersebut akan dimanfaatkan sebagai sarana publikasi program kerja demi transparansi program. Selain itu, laman di internet tersebut juga akan digunakan sebagai sarana komunikasi dari pemerintah desa dengan warganya.

”Saat ini masih disusun. Kami ingin web-nya nanti bisa menjadi sarana komunikasi bersama warga. Karena saat ini warga kami banyak yang menggunakan internet,” tutur Kepala Desa Berugenjang, Kiswo, kepada Koran Muria, kemarin.

Dia mengatakan, situs yang akan dibuat akan menggunakan domain milik Pandi, yakni domain desa.id. Domain tersebut merupakan nama resmi untuk pemerintah desa. Untuk mendaftarkun, harus mengajukan surat resmi kepada Pandi, sebagai pemegang otoritas domain id di Indonesia.

”Banyak warga kami yang bekerja di luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Dengan website ini, semoga juga bisa menjadi pengobat rindu kampung halaman. Karena, rencananya kami tidak hanya akan memuat program kerja, namun juga kami lengkapi dengan banyak foto terkini,” ujarnya. (Suwoko)

Sumber: Koran Muria
Baca selengkapnya

Kamis, 25 Desember 2014

Ruang Terbuka Hijau di Kudus Harus Lebih Banyak Lagi

Kabupaten Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah yang penuh dengan industri. Hampir semua industrinya sangat maju dan membanggakan. Dari industri-industri itulah banyak menyerap tenaga kerja. Namun, dengan keberadaan industri yang semakin tumbuh dan menjamur itu, memakan banyak lahan. Adanya pertumbuhan industri, sebaiknya diimbangi dengan ruang terbuka hijau yang cukup.

Kiswo, Kepala Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan mengatakan, bahwa masyarakat Kudus saat ini sudah banyak meninggalkan budaya mereka, yaitu mengedepankan budaya gotong royong. Semua itu berbanding lurus pada saat Kota Kudus belum banyak mengenal industri. Dengan aktifitas bekerja yang sangat luar biasa padatnya.

Selain itu, kata dia, pemberdayaan masyarakat juga harus dikembangkan. Sehingga timbul sebuah kemampuan masyarakat mandiri dalam segala sektor. Menurutnya, sumber daya manusia (SDM) di Kudus sangat baik dan maju. Namun dari situ, harus muncul pemberdayaan yang tepat sasaran dan guna. Sehingga memunculkan ideologi yang kuat.

”Tidak dapat dipungkiri, saat ini masyarakat sangat bersaing untuk mendapatkan semua yang dibutuhkan. Dari sini, muncul masyarakat yang homogen. Apabila masyarakat menjadi homogen dan nilai-nilai budaya gotong royong mulai ditinggalkan. Maka masyarakat akan kehilangan etika moral,” paparnya.
Dengan banyaknya perusahaan industri. Ditambah dengan daya beli masyarakat yang tinggi, sehingga menimbulkan sebuah perputaran uang yang tinggi pula. Ini menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya kemajuan pesat di Kudus.

Selain itu, faktor kreativitas masyarakat dalam mengembangkan usahanya juga menjadi pendorong kemajuan di Kota Kudus. ”Banyak pengusaha yang menjadi kebanggaan Kota Kudus. Semuanya mempunyai konsep usaha yang sangat baik,” ujarnya.

Menurutnya, birokrasi yang ada juga sudah baik. Sudah ada peningkatan dari tahun ketahun. Misalnya diperlihatkan dengan pembangunan jalan, pelayanan masyarakat yang mulai maksimal. Namun, sebagai salah satu perangkat desa, dirinya tidak akan puas sampai di sini.

”Saya tidak akan berhenti untuk membuat kota saya tercinta ini, untuk selalu menjadi kebanggan. Saya harus memulai dari diri sendiri, dengan bekerja lebih giat. Tidak hanya itu, saya harus membuat kota ini semakin maju, terutama di desa-desa. Seperti desa saya Berugenjang,” tuturnya.

Dia menambahkan, meski Kudus adalah kota kecil dengan banyak industri, namun semuanya sudah ditata dengan baik dan rapi. Tidak ada kesemrawutan dalam penataan kota. Ini dapat dilihat dari tata letak tempat, bagi industri dengan skala besar.

Namun baginya, dari semua itu harus ada keseimbangan yang baik di antara alam dan industri. Industri yang ada, haruslah mengedepankan alam secara berkesinambungan. ”Alam harus dijaga, tidak bisa asal mengabaikan alam. Bahwa ruang terbuka hijau itu sangat penting untuk diperhatikan. Tidak bisa semerta-merta meninggalkan fungsi alam,” katanya.

Banyak faktor yang membuat banyak lahan warga dijual dan perlahan kota ini kehilangan lahan, yang digunakan sebagai lahan terbuka hijau. Salah satunya adalah faktor ekonomi warga. Dia menjelaskan, faktor ekonomi ini menjadi yang utama. Dikarenakan masyarakat sangat membutuhkan uang dan adanya kesempatan.

”Kesempatan yang dimaksud adalah, saat lahan tidur yang terletak di pinggir jalan. Hal itu akan dilirik oleh para pengembang usaha, karena letaknya yang besebelahan dengan badan jalan. Sehingga pelaku industri akan berupaya untuk membeli lahan tersebut, untuk dijadikan pabrik atau kawasan industri,” jelasnya.

Dia berharap, untuk dewan yang baru, bisa lebih mengalakan pembuatan ruang terbuka hijau. Yang sangat bayak manfaatnya bagi masyrakat bahkan untuk kesinambungan dengan alam itu sendiri.

Selain itu, dia berharap untuk para abdi negara selalu mengedepankan kepentingan masyarakat umum. ”Ini bukan hanya harapan saya, namun juga seluruh masyarakat tentunya. Mengenai ruang terbuka hijau harus lebih lagi dicanangkan sebagi program kerja dan memberdayakan lahan tidur, untuk ruang terbuka hijau. Dan yang satu lagi, bagi seluruh pelayan masyarakat harus lebih mengedepankan kepentingan umum termasuk saya,” tutup Kiswo. (Wahyu Kristianto/ Titis Ayu)

Sumber: Murianews.com
Baca selengkapnya

Pemerintah Desa Berugenjang Perbaiki Sistem Administrasi Desa via Komputerisasi

Di era sistem teknologi komunikasi saat ini, semua kalangan dituntut untuk bisa memanfaatkan teknologi untuk memudahkan tugas-tugas kehidupan sehari-hari, termasuk untuk administrasi di tingkat pemerintahan desa. Dengan sistem komputerisasi, administrasi desa bisa ditata secara baik, dan memudahkan perangkat desa untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Hal tersebut dinyatakan Kepala Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan, Kiswo. Kepada Koran Muria dia menyatakan, di awal kepemimpinannya saat ini, dirinya ingin merubah sistem tata kelola administrasi menggunakan komputer. Dia mengaku ingin memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai alat untuk memajukan desanya.

”Saat ini, dengan sistem komputerisasi, semuanya bisa dilakukan. Terlebih untuk urusan administrasi yang membutuhkan pendataan secara terstruktur. Baik itu terkait kependudukan, keuangan, dan lain sebagainya. Dengan kecanggihan sebuah sistem yang ditanam di komputer, semuanya bisa dilakukan secara mudah,” ujar Kiswo, lulusan S1 Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Universitas Muria Kudus (UMK).

Pada tahap awal ini, katanya, dirinya akan menggunakan software yang bisa menyimpan data base kependudukan di desanya. Seluruh data penduduk, baik nama, tanggal lahir, hingga foto, akan tersimpan secara virtual di dalam sebuah server yang disiapkan. Dengan software tersebut pelayanan terkait administrasi kependudukan yang dibutuhkan masyarakat bisa secara cepat dilakukan.

”Misalnya jika ada warga yang meminta perubahan KK (kartu keluarga). Dengan software ini, kami bisa membuat surat perubahan KK dengan sekali klik. Tidak butuh waktu lama, hanya satu menit surat tersebut sudah jadi,” ujarnya.

Selain terkait data kependudukan, dirinya juga tengah menyiapkan sebuah software untuk administrasi keuangan dan topografi desa. Dengan alat tersebut, dia beserta perangkatnya bisa mengecek seluruh data keuangan di pemerintah desa setempat. Dengan begitu, dia bisa secara mudah bisa melakukan perencanaan keuangan untuk pembangunan di desanya.

”Apalagi, pada tahun depan penerapan Undang-Undang tentang Desa mulai diberlakukan. Kami harus siap dengan perangkat yang dibutuhka. Dana yang akan digelontorkan pemerintah pusat sangat besar. Kalau tidak didukung dengan peralatan yang memadahi, kami bisa keteteran,” kata Kiswo.

Selain itu, untuk meningkatkan potensi desa yang dimiliki, dirinya juga tengah menyiapkan materi untuk sebuah web yang akan segera diluncurkan. Dengan laman khusus tersebut, dia berharap masyarakat di Kudus khususnya, bisa melihat Desa Berugenjang secara online. Dengan laman tersebut, dia juga ingin mulai menerapkan pemerintahan yang transparan, dengan mempublikasikan segala kebijakan. (Suwoko)

Sumber: Murianews.com
Baca selengkapnya

Kesenian Barongan Desa Berugenjang, Menjaga Tradisi Leluhur

Malam itu, suasana di Desa Berugenjang begitu meriah karena ada salah satu warga yang mengkhitankan anaknya dan dimeriahkan dengan kehadiran kesenian daerah, Barongan. Di desa yang masih terhitung sedikit penduduknya, menjadikan malam yang sehari-harinya sepi menjadi sangat ramai. Dari orang tua, muda, kecil, besar, laki-laki, perempuan, semua tumplek-blek jadi satu karena memang desa yang terletak di ujung selatan kabupaten Kudus itu minim ruang publik yang bisa dijadikan sarana hiburan.

Kesenian Barongan adalah salah satu kesenian rakyat yang dimiliki Desa Berugenjang, selain rebana dan orkes dangdut. Kesenian Barongan tersebut adalah warisan leluhur terdahulu desa tersebut yang sering memeriahkan acara-acara pemerintah desa, ritual-ritual desa dan sarana hiburan penduduk yang punya gawe dari dulu hingga sekarang. Kesenian yang dipimpin oleh Tugiyono tersebut juga sering diundang di acara-acarangantenan dan sunatan di luar desa, bahkan luar kabupaten. Beliau mengungkapkan keseniannya tersebut pernah diundang di Karanganyar, Demak bahkan samapi ke Pati.

Untuk menjaga dan nguri-uri kesenian tersebut, Tugiyono juga mengungkapkan bahwa dia bersama dengan enam belas anggotanya selalu meluangkan waktu untuk berlatih setiap seminggu sekali. "Ketika latihan masyarakat juga banyak yang menonton, karena suara gong dan terompet barongan kami sangat keras sehingga banyak masyarakat yang tau kalau kami sedang latihan," ungkapnya dengan tawa lepas.

Ketika ditanya berapa biaya yang harus disiapkan untuk mengundang keseniannya, Tugiyono menjawab enteng saja, "Ah, kalau cuma biaya ga usah dipikir mas. Yang penting kita bisa membuat orang bergembira dan menikmati suguhan kami juga sudah Alhamdulillah," ungakapnya. Memang, kesenian rakyat seperti itu tak pilih-pilih panggung untuk menunjukkan aksinya. Karena bagi mereka berkesenian adalah panggilan hati untuk meneruskan budaya peninggalan leluhur.

Jika dibandingkan dengan seniman-seniman kaliber regional, mereka memang tak ada apa-apanya. Mereka belum mengerti tentang tolok ukur harga sebuah karya, karena memang tidak ada toko yang menjual alat itu. Apalagi tentang kesenian yang mempunyai nilai tawar personal, mereka memang tidak tahu. Bahkan, mereka tidak merasa bahwa kesenian mereka diberi label tradisional. Mereka mungkin hanya paham bahwa mereka berkesenian untuk meneruskan budaya leluhur.

Namun, mereka mungkin akan lebih terheran-heran lagi jika mereka yang akan menjadi Bupati melalui label kesenian tidak tahu bagai mana cara mempertahankan kesenian dengan tanpa pamrih apapun, kecuali untuk mempertahankan budaya dari leluhur dan membuat masyarakat merasa terhibur. (Suwoko)

Sumber: seputarkudus.com
Baca selengkapnya